Selasa, 11 November 2014

Setangkai Mawar Penuh Luka



            Kringggg.... begitulah suara jam bekerku yang selalu menyala ketika pukul 4.45 WIB  suaranya selalu beriringan dengan suara adzan subuh di Masjid dekat rumahku. Mataku masih terlihat sangat mengantuk, nyawaku pun belum sempurna karena masih terbawa mimpi, saat ku nyalahkan handphone-ku disana tertera sebuah catatan kecil hari ini. Buru-buru aku meninggalkan tempat tidurku dan langsung menuju ke kamar mandi. Aku lupa bahwa hari ini adalah  hari pertamaku untuk kembali kesekolah. Ketika semuanya sudah rapih, aku langsung bergegas menuju ke sekolah dan tak lupa untuk pamit kepada kedua orang tuaku. Suasana di jalanan sangat ramai, banyak sekali anak sekolah yang sibuk membenarkan pakaiannya dijalan, ada yang kebut-kebutan dengan kendaraan mereka, dan ada pula yang berdiri panik menunggu bus yang menuju ataupun melewati sekolah mereka. Tetapi berbeda denganku yang sangat tak semangat untuk pergi ke sekolah. Seperti ada yang hilang didiriku, tak ada lagi seseorang yang selalu terpampang namanya di layar handphone-ku dengan ucapan selamat pagi disertai emot titik dua bintang di akhir kalimatnya. Untuk mengendarai motorku pun aku tak punya daya. Aku berjalan sangat pelan walaupun jam ditanganku sudah menunjukan pukul 06.25 WIB.
            Sesampainya diparkiran, buru-buru aku berjalan menuju ke sekolah, dengan jarak yang agak lumayan jauh dari sekolah, kegiatan lari-lari ini berhasil membuat tetes demi tetes keringat di wajahku mengalir melewati pipi. Dan... BINGO! Gerbang sekolah belum tertutup. Syukurlah, mungkin dewi fortuna sedang bersamaku. Dengan wajah yang bercucuran keringat aku langsung bergegas memasuki kelasku dan beristirahat disana untuk sesaat. Dan kini kuperkenalkan, namaku Alya Pricillia, saat ini aku menduduki kelas 12 IPA 2 di SMA Harapan Bangsa yang terletak di daerah Tangerang, sekolah yang siswanya lumayan mengasyikan bagiku, tetapi tidak untuk hal cinta. Aku dikenal sebagai siswi yang sangat tidak bisa diam disekolah, yang menjadikan teman-temanku merubah namaku menjadi Alya Pecicilan. Sebutan itu tak asing lagi ku dengar lewat teman-temanku maupun guru-guru yang sudah sangat mengenalku. Seringkali aku dipanggil Miss Galau karena tulisanku di media social yang selalu menceritakan tentang hati perempuan yang disakiti, tanpa mereka sadari tokoh yang mereka tangisi adalah aku, jariku selalu melantunkan apa yang ada dihatiku saat pikiran dan hati ini sedang dalam hebatnya merasa keterpurukan, yang saat ini sedang aku rasakan.
            “Al, ayuk ke lapangan ada apel pagi. Biasa deh hari pertama sekolah jadi seperti ini” Ucap Fara membangunkanku sambil menarik-narik tanganku.
            “Duh... Iya Far, sabar dikit, aku mau ambil topiku dulu di tas” Jawabku sambil merapihkan pakaianku.
            “Yaudah, gerak cepat jangan lama-lama nanti bisa-bisa kita mendapati barisan paling belakang” Balas Fara dengan nada agak sedikit membentak kesal melihatku terlalu santai.
            Benar saja, aku dan Fara mendapat barisan yang paling belakang di barisan kelasku. Tiba-tiba segerombolan siswa IPS 2 datang memenuhi barisan paling belakang kelas mereka. Aku menunduk, tak sedikitpun aku ingin melihat wajah seorang lelaki yang telah memberikan goresan luka dalam yang sangat perih dihati ini. Saat apel sedang berjalan, tak sengaja aku menengok ke arah belakang karena posisiku sangat tak nyaman, aku melihat seorang lelaki yang tak asing bagi mata dan hatiku –Raditya Al Ghiffari, sekejap aku terdiam dan langsung kembali mengarahkan pandangan mataku ke mimbar pembina apel yang sedang memberikan sebuah pengumuman.
            “Al, hari ini Radit ganteng banget, senyumnya manis banget sumpah. Kamu harus liat!” Ucap Fara yang sedang memperhatikan Radit.
            “Iya Far, aku tahu. Tapi yaudahlah, mendengar namanya saja sudah membuat hatiku sakit apalagi melihat wajahnya” Balasku dengan nada yang sedikit memelas.
            Apel hari ini telah selesai, dengan wajah yang dipenuhi keringat, Fara dan Ana langsung menarikku menuju kelas. Mereka memberikan kabar bahwa Radit telah memiliki pasangan baru, seorang sahabatku sejak pertama kali aku duduk di bangku SMA –Kinanti. Berita itu sudah tak lagi membuatku kaget, karena aku telah mengetahuinya sejak awal. Satu per satu teman-teman kelasku memberikan berita yang sama. Cukup bagiku untuk menanggapinya dengan kalimat “Sudah biarkanlah mereka bahagia bersama” walau sebenarnya satu persatu dari mereka yang memberikan berita itu membuat hatiku tergores sedikit demi sedikit, tapi aku berusaha untuk kuat dan menganggap semuanya baik-baik saja.
***
            “Al, kamu lagi dimana? Mau menemaniku ke Taman Citra untuk melihat sebuah acara kecil yang rutin diadakan disana?” Tiba-tiba Farhan mengirimkan sebuah pesan singkat melalui BBM.
            “Aku lagi di Supermall Lippo Karawaci, han. Jam berapa?” Balasku yang sedang asyik berbelanja disana.
            “Jam 8 malam nanti aku jemput kamu, gimana?”
            “Hmm, oke” Balasku singkat.
            “Okedeh, nanti aku kabarin kamu lagi, ya.” Balasnya, dan aku hanya membacanya tanpa membalas pesannya.
            Sudah hampir setengah jam terlewati aku menunggu Farhan diteras rumahku. Tiba-tiba kulihat mobil jazz berwarna merah dan membunyikan klakson-nya kearah rumahku. Aku langsung bergegas mengambil tasku yang berada di meja dan pamit kepada kedua orang tuaku. Farhan Ramadhan itulah nama aslinya, ia adalah temanku sejak kecil saat aku masih tinggal di sebuah perumahan yang berada di Jakarta. Kini rumahku di terletak di Tangerang sedangkan rumahnya kini terletak di Bintaro, jarak rumah kami pun jauh tapi tak menghambat kami untuk tetap berkomunikasi dan bertemu. Kali ini aku diajaknya ke Taman Citra, taman yang biasa kami kunjungi saat ada pameran seni. Suasana disana sangat ramai, ada banyak Grup Band yang bergantian menempati panggung acara. Ditengah-tengah berjalannya acara tersebut, aku dan Farhan meninggalkan tempat duduk kami dan berjalan menuju kesebuah kursi taman yang terletak dekat dengan barisan para pelukis yang sedang melantunkan kuasnya kesebuah kanvas putih. Farhan mengambil sebuah buku sketsa yang ada didalam tasnya dan aku mengambil sebuah buku catatan tulisanku. Kami mulai menuangkan semua yang ada dipikirian kami melalui sebuah peralatan yang telah kami ambil dari tas. Kami berlomba-lomba untuk menyelesaikan hasil karya kami.
            “Yeay! Aku sudah selesai. Hai pelukis hati, apakah karyamu sudah selesai?” Aku memulai pembicaraan saat karyaku telah selesai dan mencoba merayu Farhan dengan rayuan yang terlihat meledek.
            “Oh, ternyata penulis galau sudah lebih jago dari aku, ya. Wait ya, segaris lengkungan kecil akan menyempurnakan lukisanku” Balas Farhan tak mau kalah.
            Kami saling menutup mata dan memberikan hasil karya kami. Satu... dua... dan hitungan ketiga kami membuka mata kami dan melihat hasil karya yang telah ditukar diantara kami sebelumnya. Kulihat Farhan melukiskan diriku yang sedang duduk dibangku taman dengan pose yang sibuk menulis dan aku menulis sebuah puisi kecil yang menceritakan tentang Farhan saat dia sedang melukis tadi. Kami bertanya kepada salah satu pasangan yang ada disitu dan Well... lagi-lagi si pelukis hati ini menang dan berarti aku yang harus mentraktirnya makan.
Langit semakin terlihat gelap, cahaya bulan semakin bersinar memancarkan cahayanya ke bumi ditemani dengan beberapa bintang yang ada disekitarnya. Setelah aku dan Farhan selesai makan, kami memutuskan untuk kembali kerumah. Selama di perjalanan kami saling berbagi cerita dan canda. Dan yang tak pernah kami lupakan adalah tentang cinta. Kami saling berbagi cerita cinta yang kami alami. Aku menceritakan tentang kandasnya hubunganku dengan Radit. Tetes demi tetes air mataku mengalir membasahi pipi.
“Sudah al, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Dimana diri kamu yang dulu, yang selalu melepaskan tawa bahagiamu, yang tak pernah meneteskan air mata hanya karena cinta? Jangan hanya karena dia kamu jadi berubah seperti ini al, jangan terlalu terpuruk. Lupakanlah dia, hilangkanlah perasaan itu sedikit demi sedikit.” Ucap Farhan menenangkanku sambil menghapus air mataku yang terus mengalir dipipi.
“Aku nyesel han, kenapa aku nggak bisa jadi perempuan pendiam yang ia inginkan.” Jawabku gemetar memeluk boneka favorite-ku hello kitty yang selalu tersimpan didalam jazz merah milik Farhan.
“Itu masalah sepele, al. Kalau rasa sayang dia beneran tulus ke kamu, harusnya dia bisa menerima kamu apa adanya, termasuk sifat pecicilan dan kekanak-kanakan yang sudah melekat didiri kamu itu.” Balas Farhan menenangiku.
“Aku masih belum bisa menerima, kenapa kenyataan yang aku terima ini begitu buruk. Radit terlalu susah untuk aku lupain, han. Apalagi sekarang dia udah pacaran dengan Kinanti, teman aku sendiri.”
“Yaudahlah al, kan kamu juga baru beberapa hari sama Radit. Berjalanannya waktu pasti kamu bisa ngelupain dia. Yakin, al”
Perjalanan masih sangat jauh, aku termenung memandangi ramainya jalanan kala itu. Tiba-tiba kulihat seorang pasangan mesra menaiki motor Ninja berwarna merah. Jantungku berdetak tak teratur, seperti ada hal yang aneh. Kupandangi mereka sampai akhirnya mereka menyadari pandanganku dari jendela mobil yang dibuka, mereka menengok ke arahku dan tenyata itu Radit dan Kinanti. Sungguh hatiku sakit, seakan jantungku berhenti untuk sesaat. Pipiku kembali basah diselimuti air mata yang tak hentinya mengalir begitu saja.
“Loh, kamu kenapa al? Kenapa tiba-tiba nangis seperti ini? Baru saja air mata mu berhenti mengalir” Ucap Farhan kaget melihatku yang tiba-tiba menangis.
“Itu...” Tanganku menunjuk kearah luar jendela mobil, tepatnya pada Radit dan Kinanti.
Belum sempat Farhan melihat mereka, Radit langsung menaikan gas motornya dan melaju sangat kencang. Entah kesalahan apa yang pernah ku perbuat kepada orang lain, sehingga aku merasa sesakit ini. Dan hari ini adalah hari terburuk yang pernah kulewati.
“Al, sudah sampai rumahmu nih” Ucap Farhan sambil menyadarkanku dari tatapan kosong.
“Oh, iya, terima kasih ya han untuk malam ini. Aku duluan, ya. Bye” Balasku langsung bergegas keluar dari jazz merah milik Farhan.
“Okey, terima kasih juga. Bye. Salam buat mama dan papa mu ya, al” Jawab Farhan langsung menjalankan mobilnya.
***
Sinar mentari hari ini begitu cerah, rumput-rumput bergoyang dengan luesnya, bunga-bunga dan dedaunan menari-nari mengeluarkan udara yang sejuk di pagi ini. Aku masih termenung diam menatapi sebatang bunga mawar merah yang kini sudah mulai kehitaman pemberian Raditya yang pernah ia berikan saat pertama kali ia menyatakan cintanya kepadaku ditengah lapangan sekolah yang saat itu sedang diguyur hujan rintik-rintik. Ia menyatakan cintanya melalui sebatang bunga mawar merah dan rangkaian bunga yang dipegang oleh beberapa siswa dilantai dua dan tiga yang membentuk tulisan I Love U dan selembar banner ukuran besar yang tertuliskan Would you like to be my princess, Alya?. Mengingat hal itu membuatku semakin sulit untuk melupakannya, kenangan bersamanya begitu berarti untukku walau hanya beberapa saat aku menjalin hubungan dengannnya. Setahun lamanya kedekatanku dengannya, aku membuat begitu banyak kenangan bersama dirinya walau saat itu kami hanya sebatas teman tapi mesra. Tetapi, kedekatan itu hanya terjawab dua puluh sembilan hari menjalin hubungan dengan status ‘berpacaran’ bersamanya. Ia memutuskanku satu hari sebelum hubungan kami berlangsung satu bulan. Saat itu dia tidak memberiku kabar sama sekali.
Jum’at, 8 Juli 2011 Pk: 08.12
     Selamat pagi, kesayangannya princess alya. Adzan subuh sudah berkumandang tuh. Jangan lupa sholat subuh ya. Happy Friday, sayang. Semoga hari ini kita diberi keberkahan. AamiinJ
To: Raditya                                     Message delivered
                     Pk: 12.25
     Daritadi aku telpon kamu kok mailbox terus ya? Hp kamu mati? Atau kamu belum bangun juga? Yaudah nggak apa-apa, aku tunggu kabarmu ya. Love you, my prince. Jangan lupa menjalankan kewajibanmu sebagai muslim ya :)
To: Raditya                                     Messege delivered

     Aku terus menghubunginya, dan tak ada satu pun tanggapan darinya. Awalnya aku merasa biasa saja, seolah ini hanyalah kekhawatiranku yang terlalu berlebihan. Tetapi hal ini terus terjadi selama dua hari, ia tidak memberiku kabar sedikit pun. Aku menyimpan beribu-ribu perasaan rindu yang selalu menggebu dihati. Menunggunya membalas perasaan rinduku ini dengan sebuah pesan singkat. Nyatanya, harapan yang ku inginkan darinya tak seindah kenyataan, entah dengan kesibukan apa dan dengan siapa sehingga dengan mudahnya secara perlahan ia  menghapus sosok ku dari hari-harinya. Kini, aku tak tahu siapa diriku baginya, kekasih, sahabat karib, teman bercerita, atau kawan bercumbu. Semakin hari hubunganku dengannya semakin tidak jelas. Pernah sekali saat tepat seminggu ia tak ada kabar, aku berniat untuk menemuinya dirumah. Ternyata rumahnya pun sepi, para tetangganya pun berkata kalau keluarganya sedang berlibur keluar kota sejak dua minggu lalu. Kakiku mulai melangkah menuju mobil berwarna pink yang ku kendarai. Aku masuk dan duduk termenung didalam mobil yang masih saja terparkir disamping rumah Radit, tiba-tiba mobil jazz warna merah dengan plat B 126 RAF berhenti tepat didepan rumah Radit. Pintu mobil si pengemudi terbuka dan ternyata itu adalah Radit! Lalu ia berlari pelan membuka pintu yang satunya dan keluarlah seorang perempuan berambut panjang di ombre yang diatas kepalanya terletak sebuah kacamata. Perempuan itu mengarahkan matanya ke arah mobilku, ku perhatikan tatapannya dari dalam mobilku, ia adalah Kinanti; sahabatku saat pertama kali aku duduk di SMA, dan entah kenapa ia langsung memeluk Radit yang kala itu sedang ingin memasuki mobil untuk dipindahkan ke dalam halaman depan rumahnya. Sungguh hatiku sakit saat itu, melihat seorang lelaki yang ku nantikan kehadirannya dihidupku kembali sedang berduaan dengan seorang sahabatku sendiri.
            Menginat hal itu, membuat air mataku semakin deras mengalir melewati pipiku. Setega itukah Radit dibelakangku? Mengapa aku menjadi sangat bodoh seperti ini, ia datang bermain berbagi kenyamanan lalu pergi dengan beribu kebohongan. Tetapi entah mengapa kenangan yang ia berikan membuatku tak sanggup  untuk melupakan semua hal tentangnya. –ucapku dalam batin.


Bersambung...

Selasa, 05 Agustus 2014

Kekasih Sesaat

“Put, Ficky minta nomor kamu!” tiba-tiba Nisa mengirimkan sebuah pesan singkat kepadaku. Aku yang sedang merasa kelelahan karena seharian bermain di pantai langsung berubah menjadi kegirangan seperti orang yang kali pertama jatuh cinta.

            “Seriusan nis? Kok bisa?” Balasku dengan menyimpan segala kegembiraan yang ada saat itu.

            “Iya put, tadi dia bilang sendiri ke aku kalau dia minta nomor kamu” Balas Nisa dengan cepat.

Muhammad Ficky Putra, seseorang yang telah lama aku kagumi sejak kali pertama aku duduk di kelas 2 SMK. Mungkin rasa kagum ku ini bisa dibilang cinta yang bersemi di Masjid sekolah. Setiap kali melihatnya berada di masjid sekolah untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim, aku merasa ada yang aneh di hatiku. Senyumnya begitu manis dan tingkahnya begitu lembut. Melihat kedekatannya kepada Allah, membuat ku kagum. Ya, aku menyukainya.

Mendengar kabar seperti itu, rasanya aku ingin cepat-cepat saja untuk meninggalkan pulau kecil yang indah ini. Aku ingin cepat-cepat kembali kerumah dan kembali menjalankan aktivitasku di sekolah.

Hari pun sudah mulai larut. Hanya ada sinar rembulan yang menerangi angkasa. Cuaca kala itu sangat mendung. Suhu udarapun sangat dingin. Tetapi tidak mengalahkan hatiku yang sedang mengobarkan api cinta.

           “Tuhkan, mulai deh gilanya. Pasti lagi ada sesuatu yang w.o.w. Lo kenapa sih put? Tumben banget seneng, biasanya juga galau. Eh..” Celetuk Fara yang ternyata sedari tadi memerhatikanku.

            “Pengen cerita sih, tapi nanti aja deh kalo udah pasti hehehe” Balasku mencoba menutupi.

            “Yeh dasar, okedeh miss galau” Balasnya dengan mimik muka yang ngeledek.

***

Matahari mulai menampakan dirinya, sinarnya begitu menyorot ke arah penginapan yang aku tempati. Jam sudah menunjukan pukul 9, bertanda kami harus bergegas meninggalkan tempat penginapan itu dan pergi menuju ke dermaga. Suasana di dermaga saat itu sangatlah ramai. Bisa jadi kami adalah penumpang terakhir yang sedari tadi ditunggu-tunggu oleh para anak buah kapal. Kami mengambil posisi duduk paling belakang. Dimana ombak sangat terasa jika seseorang menduduki tempat itu.

Awalnya, aku dan teman-temanku sangat menikmati gelombang ombak saat itu. Tetapi lama-kelamaan kami merasakan sesuatu yang membuat perut kami merasa mual. Satu-persatu kami meninggalkan posisi duduk tersebut, dan mencoba untuk tiduran di dalam kapal. Aku mengambil posisi paling nyaman, dimana banyak tumpukan tas disana. Aku tertidur sangat terlelap dan baru terbangun saat sudah ingin sampai di pelabuhan Muara Angke. Satu jam perjalanan kami dari pelabuhan Muara Angke menuju Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sesampainya disana, aku langsung pamit dengan teman-temanku juga kepada para Even Organizer dan langsung menaiki mobil yang menuju kerumahku.

***

Suasana di sekolah saat itu sangatlah ramai, para siswa kelas 10 dan 11 sibuk berlalu-lalang mencari guru bidang untuk meminta remedial. Dari sekian banyaknya siswa yang sedang berlalu-lalang, ku lihat Ficky yang sedang berjalan ditengah-tengah kerumunan temannya. Aku terhentak kaget, aku menjadi salah tingkah dan langsung memasuki kelas karena malu jika ia melihatku yang sedang dalam wajah acak-acakan seperti ini.

“Nis, dari kemarin kok aku belum menerima pesan singkat darinya, ya” Ucapku menghampiri Nisa yang sedang berada didepan ruang guru.

“Baru banget tadi aku kasih nomor kamu, nanti deh aku suruh dia sms. Tunggu  aja ya, put” Balas Nisa sambil menepuk pundakku.

Tiba-tiba Ical datang menghampiri kami. Ia membahas tentang program kerja angkatan kami; Sahur On The Road. Kami berbincang ringan disana. Aku mengambil kertas nilai kelas Nisa yang sedang ia pegang. Aku mencari nama Muhammad Ficky Putra, dan Well... aku mendapatkannya. Kulihat disana, ia mendapatkan urutan rangking 23 dari 36 siswa. Lalu, aku berikan kertas itu kembali kepada Nisa, dan melanjutkan perbincangan kami.

Sebagian siswa jurusan akuntansi berlari-larian menuju kelasku, dengan spontan aku mengikutinya karena rasa ingin tahu. Dan ternyata, mereka sedang ingin menonton film dikelas. Sungguh menyebalkan. Berlama-lama didalam kelas membuatku bosan, aku keluar kelas dan berjalan menuju koridor kelas 11 Akuntansi 3. Aku mendekati Dina dan Umara yang sedang asik memainkan gadget­-nya. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi dan ada satu pesan singkat dari nomor yang tidak ku kenal.

“Hai. –Ficky”

Ternyata pesan dari dia yang secara tiba-tiba membunyikan handphone-ku. Hatiku gemetar, jantungku berdetak begitu kencang, seperti ada suatu aliran energi yang tak biasa dari dalam tubuhku. Setelah melihat pesan itu, aku langsung teriak kencang yang membuat siswa dan siswi yang berada di sekitarku merasa terkejut melihat tingkahku yang seperti itu. Tanpa basa-basi, aku langsung membalas pesan singkat darinya.

***

Satu hari sudah perkenalanku dengannya. Hari ini adalah hari dimana setiap siswa merasa takut akan omelan orang tua mereka, takut akan berita buruk yang disampaikan oleh para walikelas kepada orang tua mereka, dan takut untuk menerima kenyataan buruk yang disampaikan secara privasi oleh guru Bimbingan Konseling; Hari Pengambilan Laporan Belajar Siswa Semester Genap. Hari yang di tunggu-tunggu para siswa akan meningkatnya tingkatan belajar kami. Dan para walikelas pun menyatakan siswa di sekolah kami, naik 100%. Tak terhitunglah berapa banyak ucapan rasa syukur yang dikeluarkan dari bibir kami. Ditengah-tengah sorakan kegembiraan kelasku, tiba-tiba handphone-ku bergetar dan terpampang jelas nama M. Ficky Putra di layar handphone-ku, ku buka pesan singkat itu yang berisi ajakannya untuk menemuiku disamping toilet siswa, tepatnya di halamann depan dapur sekolah. Saat aku ingin menghampirinya, temanku –Ana memanggilku untuk mengikuti pengarahan Praktek Kerja Industri untuk bulan Juli oleh Kepala Jurusanku di aula sekolah. Buru-buru aku mengabarinya kalau saat ini aku tidak bisa menghampirinya, dan dia memutuskan untuk menemuiku setelah  aku menerima pengarahan. Hatiku merasa tenang akan pengertiannya kepadaku. Setelah pengarahan itu selesai, aku langsung menemuinya dan saat bertemu dengannya aku sa-ngat gu-gup, susah bagi bibirku untuk mengeluarkan kata-kata. Ia memulai pembicaraan dan mulutku terbata-bata bicara dengannya. Hampir sekitar 15 menit aku berbincang dengannya. Aku menghampiri ibuku yang sejak tadi menungguku di pos sekolah, dan kami langsung jalan menuju tempat tinggal kami yang terletak tak jauh dari sekolah.

“Maaf ya fik kalau tadi aku hanya sedikit berbicara, aku gugup” Jemariku bergerak melantunkan apa yang ada dipikiran dan hatiku saat itu dan mengirim pesan itu ke Ficky.

“Iya nggak apa-apa kok” singkatnya.

“Okey, sudah sampai rumah fik?” Balasku mencoba sabar.

Tak ada balasan sedikitpun darinya. Aku langsung terdiam, tubuhku lemas, pikiranku campur aduk. Aku menyesal telah menemuinya dan bertindak memalukan seperti tadi. Seandainya sikapku tadi tidak memalukan pasti ia tak akan seperti ini. Aku bodoh, sangat bodoh. Aku hanya seorang gadis cupu yang mengharapkan cinta dari lelaki tampan seperti dia. Seketika aku menyerah.

When you love someone
Just be brave to say
That you want him to be with you

Handphone-ku berdering, bertanda ada telpon darinya. Seketika aku diam, tak menyangka jika itu adalah panggilan darinya. Buru-buru aku mengangkat telpon darinya. Dia mengucapkan maaf kepadaku karena baru memberinya kabar, dia berkata kalau dia baru saja pulang dari tempat ia melaksanakan Prakerin. Hampir satu jam aku menghabiskan waktu dengannya lewat genggaman telepon. Aku merasa sangat senang. Tak biasanya seseorang yang baru ku kenal langsung dengan tegasnya meneleponku karena ia takut kehilangan. Jiwaku diajak terbang melayang dengan dirinya.

***

            Aku merasakan ada rotasi dihatiku yang berputar begitu kencang. Semenjak kedirannya, aku merasa hidupku menjadi lebih berwarna. Menjadi lebih terang karena ada satu cahaya yang memancarkan cahayanya begitu kuat. Satu hari dari beberapa perkenalan kami, ia tak memberiku kabar. Saat senja datang, tiba-tiba handphone-ku bergetar dan ada pesan darinya, ia meminta maaf kepadaku karena baru memberiku kabar karena saat itu ia sedang sakit, ia kekurangan cairan ditubuhnya dan luka yang ada dikakinya gara-gara futsal belum kunjung sembuh. Aku sangat cemas. Aku khawatir akan dirinya. Aku mencoba memberinya beberapa cara agar dia sembuh, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Tubuhku lemas seolah merasakan kesakitan dengan apa yang sedang ia rasakan. Tak letih aku mengingatkannya untuk minum obat dan beribadah untuk meminta kepada Tuhan agar menyembuhkan penyakitnya. Ku temani hari-harinya selama ia sakit, aku mencoba menghibur dirinya agar tidak terlalu memikirkan penyakitnya.

            Jemariku bergerak mengarahkan kursor handphone ke icon BBM, ku lihat Recent Update kala itu, ku lihat Display Picture temanku –Ical yang sedang berbuka puasa bersama dengan teman-temannya, aku perhatikan satu-persatu dan kudapati wajah Ficky berada disana. Aku sempat merasa kecewa dengannya, ternyata ia sudah  bermain dengan teman-temannya padahal aku sudah menasihatinya untuk tidak keluar malam demi kesehatan tubuhnya. Tetapi aku sadar, siapa aku dan apa hak ku akan dirinya. Yang perlu harus aku mengerti dan menebalkan kata itu bahwa Aku Hanya Teman, tak ada yang lebih dari aku dengan dirinya.

            Jam sudah menunjukan pukul 11:15 ia menghubungiku dan seperti biasa kami saling berbagi cerita dan canda. Ditengah candaan kami tiba-tiba ia menyatakan cintanya kepadaku, ia menginginkanku sebagai kekasihnya. Aku langsung terdiam, tak menyangka bahwa ia memiliki rasa kepadaku. Aku bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Aku memang menyukainya dan setelah lama dekat dengannya aku mulai menyayanginya, tetapi aku belum merasa yakin dengan ucapannya tadi, aku mencoba mengingat perkataan teman-temanku kalau dia sering mengobral kata sayang dan cinta kepada perempuan. Aku mecoba megalihkan pembicaraannya.

Sempat aku menutup pintu hatiku
Ku biarkan tertimbun luka masa lalu
Lalu kau datang membukanya
Memberi kebahagiaan di setiap jengkalnya

***

            Terhitung dua belas hari perkenalan dan kedekatanku dengan Ficky. Dan terhitung sudah satu hari pernyataan cintanya aku gantung. Sekitar pukul 4 sore, saat senja mulai datang, tiba-tiba ia menelponku. Ficky bertanya tentang jawabanku akan ucapannya kemarin. Aku berpikir dan terus berpikir hingga aku menemui titik terang disana. Aku menerimanya. Tanggal 7 Juli aku mengubah status lajangku menjadi berpacaran, kini aku adalah ‘kekasih Ficky’.

            Hari demi hari ku jalani dengan dirinya, yang super cuek tapi sangat perhatian. Hari-hariku selama Prakerin ditemani dengan dirinya, begitupun sebaliknya. Setiap hari ketika sedang Prakerin, aku sudah terbiasa dengan ketidakhadiran dirinya, aku mengerti kalau dirinya sangat sibuk disana dan sangat berbeda denganku yang sangat santai. Aku isi waktu kosongku dengan membaca kitab suciku. Tak lupa aku mengingatkan Ficky setiap waktu sholat tiba.

            Awal dihari ini membuatku merasa bosan, teman Prakerin yang satu ruangan denganku satu-persatu izin meninggalkan tempat itu karena ada kepentingan lain yang memang harus diselesaikan. Aku sendiri di ruangan itu. Aku mencoba mengirim pesan singkat kepada Ficky tetapi Ficky membalasnya lewat handphone temannya karena battery-nya saat itu melemah. Saat itu Ficky sangat perhatian denganku, tak biasanya ia bersikap seperti itu. Satu hal yang menurutku paling ‘tumben’ dari seorang Ficky adalah ia menawarkan dirinya untuk menjemputku seusai Prakerinku dihari itu. Tak berpikir panjang aku pun langsung menerima tawarannya. Karena letak tempat Prakerinku di daerah yang dipenuhi dengan penjagaan polisi –Kuningan, maka Ficky yang masih belum memiliki stnk akan menjemput dan menungguku di halte Busway Mampang Prapatan. Sesampainya disana, aku diajak untuk main kerumahnya karena sedang ada teman-temannya disana. Sesampainya disana, aku saling berbagi kasih dengan dirinya, aku dipeluk mesra dan dicium oleh dirinya. Aku benar-benar merasa kalau aku lah pemilik hatinya, aku lah belahan jiwanya, dan aku lah satu-satunya perempuan baginya. Rasa kekecewaan yang sempat aku rasakan seolah hilang begitu saja terhapus oleh rasa sayang yang aku punya untuknya. Dan dia berhasil membuatku melupakan masa laluku yang sangat pahit. Aku benar-benar menyayanginya.

            “Jangan tinggalin aku ya, fik” Ucapku saat ia sedang memeluk erat tubuhku.

        “Iya, aku nggak akan tinggalin kamu sayang” Jawabnya lembut, hatiku sangat tersentuh dengan ucapannya yang baru saja ia ucapkan kepadaku.

            Saat diperjalanan pulang menuju rumahku, ditengah perjalanan aku melupakan satu hal, handphone-ku tertinggal dirumahnya. Aku lihat raut wajahnya yang kesal karena sikapku yang seperti itu. Dengan segala kekuatan yang ada didalam hatiku, aku mencoba sabar dengan gerutuannya. Sesampainya dirumahku, ia langsung pamit untuk pulang.

Terima kasih sayang untuk hari ini
Kamu benar-benar membuat hariku ini menjadi memiliki warna yang indah
Cahaya yang tak pernah redup
Dan kasih sayang yang tak pernah lupa kau berikan kepadaku
Aku menyayangimu, selalu.
Hati-hati dijalan, sayang.

            Hari telah berganti, matahari telah memancarkan cahaya baruya yang agak meredup. Cuaca hari ini sangat mendung, tetapi tak ada setitik air pun yang terjatuh dari langit. Hariku berjalan seperti biasa. Ficky baru akan mengabariku setelah ia selesai Prakerin. Aku tunggu pesan darinya, dan belum ada satupun pesan darinya. Jam sudah menunjukan pukul 6 sore dan ia baru memberiku kabar. Ia selalu menanyakan tentang handphone-ku yang tertinggal dirumahnya, semakin ia menanyakan semakin aku merasa sebagai beban untuknya. Untuk mengantarkan kerumahku pun dia memikir panjang, aku merasa seperti tak ada pengorbanannya untukku, akhirnya aku pun mengambil kerumahnya bersama adiku –Cica. Banyak sekali pertanyaan dididalam diriku yang ingin ku tanyakan kepada dirinya, banyak sekali isi hatiku yang selalu ku pendam yang ingin aku sampaikan kepadanya, tetapi saat bertemu dengannya seolah lilih yang cair terkena api, hatiku luluh dengan sendirinya. Ia berpesan untuk mengabarinya jika aku sudah sampai dirumah. Dan ketika aku sampai, aku pun langsung mengabarinnya. Saat sedang memainkan handphone-ku ternyata Ficky belum mengeluarkan akunnya di salah satu media social yang ada di handphone-ku. Dengan rasa penasaran, aku mecoba melihat kotak masuknya dan banyak sekali perempuan yang ia mintai nomor telponnya. Sungguh hatiku sakit saat itu seperti ada tusukan benda tajam yang begitu dalam dihatiku. Tubuhku terhentak dan napasku tak lagi leluasa. Dan lagi-lagi aku mencoba untuk sabar, aku berusaha tegar, aku tidak ingin aku melakukan hal bodoh yang dapat merusak hubunganku dengannya. Aku memilih memendam dengan segala kesakitan yang ada dihatiku.

Kamis/17 Juli. Pukul: 06.10
     Selamat pagi sayang. Semoga harimu indah ya:*
             
Pukul: 12.03
     Jangan lupa sholat zuhur ya sayang :*

              Pukul: 15.15
     Jangan lupa sholat ashar sayang :*

              Pukul: 17.57
     Selamat berbuka puasa sayang. Semoga puasa hari ini berkah, ya. Jangan lupa sholat maghrib :*

              Pukul: 20.45
     Hai sayang, sholat tarawihnya sudah selesai belum? :’)

              Pukul: 23.37
     Selamat malam ya, sayang. Dari terakhir kita telponan aku nunggu kabar kamu, tapi kamu belum ngabarin juga. Sekarang aku sudah mulai ngantuk, aku tidur duluan ya sayang :*

Dan hari itu, Ficky samasekali tidak memberiku kabar. Aku pun mencoba sabar, tak ingin membuat pikiran negatif yang baru. Pukul 21.17 aku mencoba untuk menghubunginya, sudah empat kali panggilanku tidak dijawab, dan yang ke lima kali ia baru mengangkat panggilanku. Aku pun langsung menanyakan kabarnya, banyak sekali pertanyaan akan rasa khawatir kepada dirinya yang aku tanyakan kepadanya, sesekali aku menanyakan tentang perasaan dia kepadaku, tetapi ia menjawabnya dengan emosi. Ia seperti tidak mempedulikanku lagi, aku merasa seperti sedang ada perempuan lain yang hadir dihatinya. Walau sebenarnya aku sudah mengetahui bahwa ia sedang mencoba mendekati perempuan lain, tetapi aku tetap ingin bertanya dengannya karena aku ingin tahu, jawaban seperti apa yang dia berikan kepadaku. Setiap aku tanyakan tentang hal itu, selalu saja ia membentakku dan mengalihkan pembicaraan. Dan hatiku pun tetap mencoba untuk memahami.

***

            Hari-hariku mulai terasa sepi, tak ada lagi sapaannya disetiap pagi yang mampu memasokan energiku, tak ada lagi emot titik dua bintang yang selalu ia selipkan di akhir pesan singkatnya, tak ada lagi pesan khawatirnya saat aku sedang dijalan, dan tak ada lagi dia dengan sikapnya yang dulu, yang masih lembut dan hangat kepadaku. Yang ada kini hanya pesan-pesan lama yang masih kusimpan, seringkali aku membaca ulang pesannya yang dulu-dulu membuatku tertawa akan kekonyolannya. Terkadang ketika sedang mengingatnya, air mata ini tak kuat lagi terbendung yang akhirnya bulir demi bulir air mataku terjatuh membasahi pipi. Tetapi aku mencoba kuat, berusaha untuk tetap mempertahankan hubungan ini walau hanya aku yang berjuang karena aku percaya tak ada perjuangan yang tidak menghasilkan sesuatu.      

            Keesokan harinya, tepat pada malam sabtu dimana sekolahku mengadakan Sahur On The Road. Tanpa kenal lelah, tak ada habisnya aku mencoba menghubungi Ficky yang hari itu samasekali tidak memberiku kabar. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya dan tak ada satupun yang dijawab olehnya. Aku biarkan beberapa menit lalu kembali aku hubungi dirinya dan Well... akhirnya dia mengangkat telponku. Aku bertanya tentang kabarnya hari ini, aku bertanya tentang keputusannya untuk mengikuti acara yang sedang dijalankan oleh sekolah kami malam itu. Aku mencoba memaksanya, memberikannya kata-kata melas dari bibirku, dan akhirnya dia mau mengikuti acara tersebut. Jam berputar semakin cepat dan tak ada tanda-tanda Ficky datang. Aku menghubunginya lagi dan lagi. Acara sudah semakin dekat untuk dimulai, bahkan tinggal hitungan detik tapi Ficky tak kunjung menampakan dirinya didepanku. Dengan berat hati akhirnya aku berpasangan dengan alumni veteran yang pernah bersekolah di sekolahku satu tahun diatasku. Tak letih aku terus menghubungi Ficky yang sejak tadi tidak merespon panggilanku. Entah panggilan keberapa yang ku hubungkan ke dia tapi tetap tidak ia angkat. Sekali ia mengirimkan pesan singkat kepadaku.

            “Kenapa?”

Dan saat aku mencoba menghubunginya, tidak ada jawaban lagi. Saat sedang diperjalanan aku melihat seseorang mengenakan jaket yang biasa dipakai oleh Ficky, aku meminta alumni yang memboncengiku untuk mendahului motor yang ditumpangi oleh orang tersebut. Dan ternyata itu benarlah Ficky, dia mencoba menutupi wajahnya dengan helm. Sungguh hatiku kecewa saat itu, hatiku sakit melihat sikapnya yang seperti itu. Segera aku menghampirinya yang sedang berhenti di pom bensin, aku bertanya mengapa sikapnya menjadi seperti ini kepadaku dan dia membentakku lagi. Malam yang seharusnya menjadi malam yang indah bagi para pasangan tetapi tidak untuk aku, aku dirundung kesedihan, kesakitan, dan rasa kecewa. Sesekali rombongan kami berhenti untuk beristirahat di pinggir jalan, dan waktu itu aku sempatkan untuk mencoba menghampiri Ficky. Sebelum menghampirinya aku meminta temanku –Nisa untuk memberitahukan Ficky bahwa aku ingin berbicara dengannya.

            “Yaelah, mau ngapain sih? Nanti aja, nis. Disini ramai, malu.” Ucap Ficky kepada Nisa yang sempat terdengar olehku.

Segitu tidak berharganyakah aku untuk kamu? Perempuan yang selalu menutupi sakitnya hanya karena dirimu, merelakan tubuhnya merasa kesakitan hanya karena dirmu, dan inikah jawaban yang aku terima? Aku hanya ingin berbicara denganmu, meluruskan hubungan kita yang sedang berantakan seperti ini. Apakah aku salah? Ataukah kamu malu jika ada orang lain yang tahu bahwa aku adalah kekasihmu? Bukankah semua orang sudah tahu jika kita merupakan pasangan? –Ucapku dalam batin berusaha untuk kuat.

            Para panitia bergegas membagikan makanan kepada peserta Sahur On The Road sekolahku. Tak ada sedikitpun nafsuku untuk makan. Aku hanya meneteskan air mata, mengeluh, dan melamum. Aku tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi. Aku berpikir dan terus beripikir, mencoba mengintropeksi diriku mencari apa yang salah dari diriku. Para panitia memberitahukan kepada peserta untuk segera bergegas meninggalkan tempat dan kembali menuju sekolah. Dengan segala kekuatan yang aku punya, cepat-cepat aku menghampiri Ficky yang saat itu posisi duduknya tidak jauh dariku.

            “Kamu kenapa sama aku fik?” Aku mencoba memulai pembicaraan.

           “Nggak kenapa-kenapa kok, sudahlah nanti sms aja, jangan seperti ftv gini deh” Balas Ficky ketus.

            “Yaampun Ficky, aku cuma ingin tahu kenapa kamu kayak gini ke aku” Balasku memelas.

            “Sudahlah nanti aja” Jawabnya

        “Yaudah Fik, nanti pulang aku bareng kamu, ya. Aku mau bareng kamu Fik. Aku mau menghabiskan malam bareng kamu Ficky...” Ucapku dengan nada yang sangat melemah yang menyimpan beribu tumpukan air dimata dan hatiku, belum selesai aku berbicara ia langsung meninggalkanku begitu saja.

            Kembali ku hampiri teman-temanku yang sedang bernarsis ria didepan kamera. Aku termenung dan terdiam.

            “Yaampun, put. Kok Ficky seperti itu sih sama kamu? Sabar, ya, put.” –Ucap Ana.

        “Padahal tadi aku udah berbicara dengan Ficky untuk pulang bareng kamu, tapi tanggapannya acuh tak acuh, put. Sabar ya put, sabar.” –Ucap Dwi sambil mengeluskan pundakku.
            
          “Sudahlah, put. Kan aku sudah pernah bilang, jangan langsung memberi hati sama dia. Dia itu selalu mengobral kata sayang” –Ucap Sri yang dari awal selalu mengingatkanku.

            Acara Sahur On The Road sekolahku pun telah selesai. Peserta satu-perstu meninggalkan sekolah. Buru-buru aku pulang menuju rumah untuk menenagkan diriku yang saat itu benar-benar sedang rapuh.

Sabtu/19 Juli. Pukul: 06.57
     Sayang?

              Pukul: 07.12
     Sayang? Kamu kenapa sih?

              Pukul: 07.25
     Sayang? Kamu marah sama aku?

              Pukul: 07.33
     Sayang? Sekarang aku nggak ngerti lagi gimana perasaan kamu dan gimana hubungan kita. Aku bingung harus gimana. Setiap kali aku mencoba bicara sama kamu, kamu selalu mengabaikan pembicaraan aku. Aku mau kita kayak dulu lagi. Aku nggak mau diam-diaman seperti ini. Beberapa hari ini kamu selalu nggak ada kabar. Setiap hari aku nungguin kabar kamu hingga larut malam, tapi nggak pernah ada kabar dari kamu. Dan saat ketemu tadi kamu malah mengabaikan aku gitu aja seolah aku nggak pernah ada. Aku kangen kamu dan kita yang dulu Ficky:(:(:( 

Tak ada satupun balasan pesan darinya. Hatiku semakin hancur. Aku sangat menyayanginya. Aku tak ingin berpisah dengan dirinya. Sesakit apapun itu, aku akan terus mempertahankan hubunganku dengannya. Sampai akhirnya aku lelah untuk terus menunggu balasan darinya, aku tertidur dengan membawa segala bayang-bayang dirinya.

Sabtu/19 Juli. Pukul: 10.19
     Udahin aja yaa, aku lagi males pacaran.

            Kata-kata itu, membuatku semakin terpuruk. Kata-kata yang begitu singkat dan jelas, ya, jelas menyakitiku. Tak kuasa aku menahan air mataku, satu-persatu buliran air mataku mengalir membasahi pipiku. Aku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku belum siap dengan perpisahan ini. Ficky memutuskan hubungan kami secara satu pihak. Hati ini lelah untuk terus berjuang. Lelah untuk terus tersenyum dalam tangis. Butiran air mata yang selalu membasahi pipiku selalu ku sembunyikan dengan beribu alasan supaya tak ada seorang pun yang tau sakit yang kurasakan. Aku hanya bisa memendam perasaan itu. Kukumpulkan setumpuk rasa sakit itu tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Dan yang lebih menyakitkan, kini ia telah memiliki kekasih. Entah apa arti dari kalimatnya yang terakhir ia ucapkan. Aku mencoba untuk tidak mengerti.

Untukmu yang kini pergi meninggalkanku...

Kehadiranmu bagaikan pelangi dihudupku
Memberikan segala warnanya yang indah
Kau berikan segala cahayamu bagaikan sumber tata surya di bumi ini
Sempat ku tutup rapat-rapat pintu hatiku
Tetapi tiba-tiba kau datang memberi segala kebahagiaan
Yang membuatku melupakan segala masa laluku yang kelam

Namun,
Kini ruang dihatimu semakin sempit untukku
Karena ku tahu kau sedang berusaha memasuki nama perempuan lain dihatimu
Dan dari situlah aku mengerti
Bahwa yang harus kulakukan hanyalah merelakan
Membiarkan semuanya mengalir begitu saja

Tenang sayang,
Tak akan ada lagi pesan dari perempuan yang selalu kau kesali perbuatannya
Tak akan ada lagi perempuan yang selalu menghubungimu untuk ibadah
Dan tak akan ada lagi
Aku yang selalu  membuatmu merasa malu

Suatu saat nanti kau akan menyadari
Hanya cintaku lah yang paling bersabar
Menurut tanpa menuntut
Selalu mengalah dan tak kenal lelah


Selamat tinggal, sayang.

Oleh: @egharhiyanti