Jumat, 13 Februari 2015

Tentang Kamu



“Happy Valentine Day and Happy 3rd Aniversary, sayang” Ucap Rangga dari kejauhan lewat telepon.
“Maaf ya ganggu tidur kamu, aku mengucapkan ini karena aku tak ingin kehilanganmu untuk yang kedua kalinya, aku sangat mencintaimu entah sampai kapanpun itu. Semoga kita bisa tetap bersama sampai nafas terhenti” Lanjutnya.
“Happy Valentine dan selamat tanggal 14 Februari untuk yang ketiga kalinya, sayang.” aku menjawab terharu.
Pukul 00:08 ia menghubungiku. Entah mengapa dari tahun sebelum-sebelumnya ia tak pernah lupa mengucapkan hal itu kepadaku. Dan disetiap tengah malam pukul dua belas lewat delapan detik ia menghubungiku pada hari kasih sayang ini atau yang biasa dikenal dengan Valentine Day. Bagiku, hari kasih sayang bukan hanya tanggal 14 Februari ini, tapi setiap hari selama kita masih diberikan nafas oleh Sang Pencipta.
Tiga tahun sudah hubunganku dengannya berjalan, walau banyak bebatuan yang selalu menghalangi jalannya hubungan kami. Dari rok berwarna biru dongker sampai menjadi warna abu-abu, Rangga melengkapi hari-hariku. Dan kini kami menginjak dibangku kelas dua. Sempat sekali saat hubunganku dengannya berjalan dua tahun, ia meninggalkanku tanpa sebab yang membuat hatiku terus mengeluarkan banyak pertanyaan. Tubuhku lemah saat itu. Dua hari aku terdiam di kamar. Handphoneku ku biarkan baterainya melemah dengan sendirinya. Guru BK tak hentinya menghubungiku karena aku tidak masuk tanpa keterangan. Orang tuaku mengetahuinya, sampai-sampai guruku datang kerumah, memanggilkanku dari balik kayu tebal yang terkunci itu. Tak ada sama sekali jawaban dariku. Aku terdiam lemah diatas sebuah kasur berlapis sprei berwarna pink. Foto-fotoku bersama dengan Rangga  yang telah kugantungkan dan kuhiasi di sebuah sisi dinding dikamarku, kini telah berserakan. Bunga mawar yang selalu Rangga berikan disetiap awal bulan sebagai harapan bulan itu akan indah, yang selalu ku letakan disebuah vas yang aku buat dengannya saat pelajaran seni budaya, kini bunga itu satu persatu kelopaknya terjatuh dan menghitam. Dan pada hari ketiga setelah kejadian itu ia datang kerumahku dan menjelaskan segala alasan mengapa ia memutuskan hubunganku. Dan dihari itu juga aku dan Rangga kembali menjalani hubungan kami.
Memoriku kembali teringat akan hal menyakitkan itu.


Aku membuka jendela kamarku, menikmati udara pagi yang masih segar ditemani seekor ikan pemberian Rangga sebagai teman hari-hari selama aku berada di kamar.
“Pagi yang cerah. Udara yang segar. Ya Tuhan, terima kasih telah kau berikan nafas kepadaku hari ini” Ucapku sambil menikmati indahnya pagi.
“Icaaaa, ini ada kiriman bunga untukmu dari...” Ucap kakak ku-Nayla dengan suara yang agak tinggi yang bisa membuat seseorang yang berada disebelahnya merasa jengkel, belum sempat ia melanjutkan ucapannya aku langsung merebut bunga tersebut dari tangannya.
“For Alyssa My Future Queen” di kertas yang diletakan ditengah-tengah bunga tercantum tulisan tersebut. Pasti Rangga yang memberikan ini, ya Tuhan terima kasih telah mempertemukanku dengan seseorang yang mencintaiku dengan tulus – batinku. Tiga puluh enam tangkai bunga kuhitung yang ia berikan pagi ini.
            Kuletakan bunga tersebut disebuah vase yang ku ambil dari lemari kaca rumahku. Ini merupakan bunga yang ke 105 pemberian Rangga selama aku dengannya mengganti status lajang menjadi berpacaran. Sayangnya, kini hanya ada 47 bunga yang masih dapat bertahan walau sudah ada yang menjatuhkan kelopaknya secara perlahan dan semakin menghitam. Bunga yang lainnya kini telah hilang dimakan udara, tetapi bekasnya masih kusimpan disebuah kotak kecil pemberian Rangga. Bunga-bunga inilah yang menjadi saksi perjalanan cintaku bersama Rangga.


            Sedikit sentuhan lipbalm berwarna pink menyempurnakan keceriaanku pagi ini. Tak lupa aku memakai gelang couple yang tempo hari ku beli sama dan memberikan yang satunya kepada Rangga. Softlens hitam yang kupakai membantu penglihatanku untuk mengikuti pelajaran disekolah nanti. Baju seragam yang ku kecilkan ukurannya, rok  span pendek berwarna abu-abu, jam tangan dan gelang couple, serta flat shoes hitam, menjadi fesyen ku hari ini. Tiba-tiba handphone ku berbunyi dan tertera nama Rangga dilayar.
Selamat pagi sayang. Aku sudah didepan gerbang rumahmu nih.
Buru-buru aku langsung keluar kamar, mengambil roti sarapanku pagi ini, memasukan bekal makananku kedalam tas, tak lupa aku untuk berpamitan kepada kedua orangtua ku, dan segera aku menghampiri Rangga yang telah menungguku didepan gerbang.
“Hai sayang, maaf ya membuatmu menunggu. Tadi aku baru melihat handphone. And by the way, terima kasih untuk bunganya. I love you” Ucapku membuka pembicaraan sambil menutup pintu mobil Ayla berwarna silver dan langsung mencium pipi Rangga.
            Selama diperjalanan kami membicarakan banyak hal tentang hubungan kami dan orang-orang disekitar kami. Kemacetan di pagi ini memang sudah menjadi ciri khas kota Jakarta. Tetapi canda dan tawa tak hentinya terlepas diantara kami pagi. Sungguh awal hari yang sangat indah.
            Sungguh aku tak menyangka aku dan Rangga dapat bertahan sejauh ini. Semoga Tuhan selalu menyatukan hati kami. Aamiin –Batinku. Ditengah kemacetan yang sedang kami hadapi, tiba-tiba Rangga memegang erat tanganku.
“Maaf ya, Ca, kalau menurutmu hari ini aku tidak se-special bulan kemarin.”
“Yaampun Ngga, hari apapun itu, bulan apapun itu, bahkan tahun sekalipun, kamu tetap special untukku. Karena hanya kamu yang selalu menemaniku dalam keadaan sedih ataupun senang” Jawabku meyakinkan.


            Hari demi hari selalu kulewati bersama Rangga dan cinta kami tentunya. Tetapi hari ini, seminggu setelah perkataan ia minggu lalu yang ia ucapkan kepadaku, ia tidak terlihat di sekolah. Dan ia tidak memberiku kabar, setiap aku menghubunginya selalu mailbox. Perasaanku sudah mulai tidak enak. Aku bertanya kepada teman sekelasnya dan ternyata ia sakit. Pikiranku memburuk, tidak seperti biasanya. Ku perhatikan ia selalu izin sakit setiap minggu ketiga. Dari data yang kutemui, terdapat surat dari Rumah Sakit yang tertera Rangga butuh waktu istirahat selama satu hari. Aku semakin heran, Rangga tidak pernah menceritakan apapun tentang kesehatannya, setiap kutanya ia selalu mengalihkan pembicaraanku. Lagi-lagi nama Rangga tertera dilayar handphone ku tanda ada pesan masuk darinya.
Bagaimana harimu dihari yang cerah ini sayang? Semoga Tuhan selalu memberikanmu kesehatan.
Secerah cintaku padamu sayang ;p –Balasku menyimpan beribu pertanyaan.
Pesan demi pesan saling kami tukarkan. Menceritakan tentang hari ini. Menghabiskan malam lewat genggaman telepon hingga kami terkantuk-kantuk. Malam ini aku masih ditemani olehnya walau hanya lewat telepon. Ia menecritakan tentang kecintaannya terhadap kota Mekah yang berada di Saudi Arabia.
“Aku ingin sekali kesana bersamamu dan bersama keluarga kita. Menunaikan haji bersama disana” Ucap Rangga lembut yang berhasil menyentuh hatiku.
Muhammad Rangga Raihan, seorang lelaki satu-satunya yang dekat denganku yang sangat mencintai Islam. Ketaatannya terhadap Agama yang selalu membuat cintaku terhadapnya semakin hari semakin bertambah. Ia selalu mengingatkanu beribadah walau dirinya sedang sakit. Aku selalu berterima kasih dan sangat berterima kasih kepada Allah karena telah memberiak dia untukku. Walau entah kami dapat bersama selamanya atau tidak. Tetapi ku berharap kami dapat bersama selamanya.


“Ca, Van, ke kantin yuk! Laper banget nih.” Ucap Tasya manja sambil menggoyangkan tanganku dan Vanya yang sedang duduk dibangku depan kelas.
Vanya Putri Rembulan dan Camelia Tasya, mereka adalah sahabatku di Sekolah dan dimanapun. Dan tak terkira, dua tahun kami bersama dalam satu ruang yang sama; kelas IPS 1. Kami selalu bersama disekolah, tetapi aku juga menyempatkan waktu untuk bersama dengan Rangga disekolah. Dan aku, Alyssa Intan Wardoyo biasa dipanggil dengan sebutan Ica, keturunan keluarga Wardoyo-Kakekku dari suku Jawa Solo yang kini tinggal ditengah Ibu Kota Jakarta. Bersekolah di SMP Negeri lalu melanjutkan ke SMA Cendrawasih. Memang tidak mudah beradaptasi di Sekolah yang favorite seperti ini. Tapi berkat keluargaku, sahabatku, dan Rangga, aku berhasil menyesuaikan diriku berkat dukungan dari mereka.
“Yaudah yuk, kebetulan aku lagi nggak bawa bekal, biasa deh lagi home alone ditinggal bokap nyokap dinas diluar” Jawabku.
“Wah kayaknya aku bisa nginep nih” Balas Vanya.
“Hahaha, bisa bisa, mau kapan sih? Haha”
“Ih yaudah nanti aja ngobrolnya sih, mending ke kantin dulu” Ucap Tasya yang sudah tak sabar untuk ke kantin.
“Yaelah emang ada siapa sih, banyak banget sih cowoknya” Balas Vanya meledek.
Aku, Tasya, dan Vanya duduk dibangku yang terletak ditengah kantin. Seperti biasa, Vanya selalu tak menghabiskan makanannya karena sedang proses Diet yang tak selesai-selesai.
“Ca, Van, aku duluan ya. Buru-buru nih mau ngasih tugas, tadi kelupaan” Ucap Tasya.
“Yaudah gih sana, lagian pake lupa segala” balas Vanya ketus karena sudah sangat kenyang dengan alasan Tasya setiap kali sedang ngobrol-ngobrol dikantin.
Tasya langsung bergegas keluar kantin, dan meinggalkan cardigan tosca yang ia bawa saat ke kantin.
“Loh, Ica sudah putus sama Rangga?” Ucap salah satu teman sekelas Rangga.
“Masih, kok. Emang Rangga bilang sudah putus?”
“Ya, nggak sih, tapi yaudahlah lupain aja ca, hehe”
Akhir-akhir ini teman-temannya Rangga sering membuatku kesal. Mengucapkan kata-kata yang aneh yang selalu memancing emosiku. Memang aku dan Rangga kini di sekolah sudah jarang bertemu, paling hanya saat berangkat dan pulang sekolah aku bersamanya.
“Udah yuk Van kita keluar aja, bete lama-lama dikantin” Ucapku dan segera meninggalkan kantin diikuti dengan Vanya.
“Eh, anterin aku ke perpustakaan yuk, Ca. Mau ambil Mp4 aku yang tertinggal kemarin”
“Yuk”
Letak perpustakaan disekolahku memang agak terpencil, terletak dipojok dan harus melewati lorong OSIS yang menjengkelkan. Saat aku dan Tasya ingin memasuki lorong OSIS, tiba-tiba aku melihat Rangga menyium pipi Tasya lalu mereka saling berpelukan. Sungguh hatiku hancur saat itu. Air mataku menetes dan aku langsung berlari meninggalkan Vanya yang tadi sedang bersamaku.
“Ah, kalian berdua keterlaluan!” Ucap Vanya dengan nada tinggi mengarah ke Rangga dan Tasya dan.
“Ica tunggu!” Lanjut Tasya memanggilku dan mengejarku.
            Sepulang sekolah, Rangga menghampiri meja kelasku. Buru-buru aku membereskan barang-barangku dan langsung bergegas keluar.
“Nggak gitu, Ca” Ucap Rangga sambil menarik tanganku.
            Aku lepaskan tangannya dan aku langsung pergi meninggalkan dia dikelasku. Aku tak ingin bertemu dengannya, aku merasa kesal dengannya, hatiku sakit. Dikhianati oleh pacar dan sahabatku sendiri. Tidak berartikah tiga tahun ini? Membangun cinta bersama dengan menerima segala kekurangan dan kelebihan diantara kita. Apa arti aku dihatimu selama ini. –Batinku.


            Sejak kejadian itu, hari-hariku menjadi sepi. Rangga tak lagi menghampiriku dan tak memberi kejelasan. Tasya bersama kekasih barunya, melupakan aku dan Vanya. Cinta, sahabat, semuanya hancur. Kepercayaan itu, sirna. Hanya Vanya yang menemaniku, merelakan bajunya basah karena tangisanku dipelukannya.
            Dua minggu sudah aku tidak bertemu Rangga. Aku mencoba bertanya kepada teman-teman kelasnya, tapi tak ada yang mengetahuinya karena dia tak memberi kabar ke sekolah. Handphone ku berbunyi dan ada pesan dari Kesya-Adiknya Rangga.
Kak Ica dimana? Bisa ke Rumah Sakit Persada sekarang? Aku tunggu ya, diruang ICU Lt. 2. Penting.
Seperti ada belati yang menusuk tajam hatiku saat menerima pesan dari Kesya. Rasa takut dan khawatir merasuki rongga jiwaku.
“Van, adiknya Rangga kok sms begini ya? Aku takut ada yang terjadi dengan Rangga nih, ya Allah”
“Yaampun, jangan nethink dulu Ca, coba kamu kesana gih. Hati-hati ya” Jawab Vanya.
Tanpa menjawab pembicaraan Vanya aku langsung pergi meninggalkannya.


            Tubuhku lemas tersender di dinding ruang ICU  Rumah Sakit Persada. Ia baru saja melihat tubuh Rangga terbaring tak berdaya di atas kasur pasien. Entah apa sakit yang di derita oleh Rangga.
            Disudut ruangan terlihat keluarga Rangga dengan muka yang khawatir. Melihat dokter yang keluar dari kamar Rangga, Ibunya dan Kesya menangis tak karuan. Tiba-tiba tantenya menghampiriku.
“Ica, sudah berapa lama kamu dengan Rangga?”
“Alhamdulillah sudah tiga tahun, tante”
“Cukup lama ya”
“Alhamdulillah tan, tadi dokter bicara apa tan?” Tanyaku dengan penuh kekhawatiran
“Hmm Rangga sudah tidak ada Ca. Barusan dia pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Sudah lama Rangga mengidap penyakit kanker darah atau yang biasa dikenal dengan sebutan leukemia. Dan itu, sudah stadium akhir. Dan kini, Sang Pencipta telah memintanya untuk kembali padanya.” Ucap tante Rangga sambil meneteskan air mata.
“Astaghfirullah Ranggaaa” Aku langsung berlari memasuki ruang ICU, tak peduli akan peraturan yang ada di Rumah Sakit tersebut.
            Tubuhnya sudah tak berdaya. Air mataku mengalir deras tak karuan. Aku memeluk Rangga kuat. Aku menangis ditubuhnya. Sungguh hancur hatiku kehilangan seseorang yang sangat kucintai untuk selamanya. Rangga; semangatku. Kini pergi meninggalkanku. Tepat pada tanggal empat belas dan pada pukul dua belas malam lewat delapan detik ia meninggalkan ku untuk selamanya. Dan didelapan detik pertama pada hari ini, ia tak lagi mengucapkan cintanya kepadaku melainkan mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya padaku.
            Aku masih belum percaya bahwa ia telah meninggalkanku. Bayangan dirinya masih teringat jelas di pikiranku. Sosoknya selalu datang kedalam mimpiku. Sungguh sulit untuk menjalani ini. 


Sebulan sudah kepergian Rangga dari hariku dan dari dunia ini. Aku berziarah ke kuburan Rangga, tempat tinggal ia saat ini. Ku bersihkan kuburannya, ku sirami dengan air mawar, ku taburkan bunga diatasnya dengan membentuk love. Air mataku mengalir deras sambil membacakan doa untuknya. Dan hari ini adalah tanggal empat belas untuk yang ke tiga puluh delapan. Aku masih menyimpan surat yang ia titipkan kepada Kesya untukku.


Untukmu ratu masa depanku, Alyssa

          Sebelumnya aku ingin meminta maaf akan perbuatanku tempo hari. Aku tahu hatimu sangat terluka saat melihat kejadian itu. Kamu langsung berlari dan meneteskan air matamu begitu deras. Saat sepulang sekolah aku menghampirimu untuk menjelaskan semuanya dan aku ingin meminta doamu.

Alyssaku,
Maafkan aku yang telah mengecewakanmu. 
Aku seperti itu karena aku tidak ingin melihat kamu sedih saat melihatku terbaring lemah di tempat tidur, 
Aku tidak ingin kamu menangis hanya karena penyakitku ini, 
Dan aku seperti itu berusaha membuatmu agar benci padaku supaya kamu tidak merasa kehilangan saat aku telah tiada nanti.

Alyssaku, 
Maafkan aku yang tidak jujur tentang penyakit yang telah lama diderita olehku. 
Aku tak ingin membuatmu menjadi kepikiran akan penyakitku, 
Aku tak ingin menambah beban pikiranmu, 
Dan aku tak ingin merepotkanmu  hanya karena penyakitku.

Alyssaku, 
Maafkan aku yang belum bisa membahagiakanmu, 
Yang belum bisa mengajakmu dan keluarga kita untuk pergi bersama ke tanah suci Mekah, 
Dan maafkan aku yang belum bisa memberikanmu sebuah mahar.

Alyssaku, 
Kamu adalah  delapan detik pertama dalam hariku. 
Kau tahu mengapa? 
Karena angka delapan merupakan angka yang tak pernah putus,
Dan ia memiliki banyak arti; seperti dirimu.

Alyssaku, 
Aku ingin meminta do’amu untukku saat aku telah tiada, 
Saat nyawaku tak lagi didunia ini, 
Dan saat Sang Pencinpta memintaku untuk kembali padanya.

Alyssaku, 
Aku sangat mencintaimu. 
Semoga kau tak akan lupa akan diriku saat ku telah tiada nanti. 
Dan semoga setelah sukses nanti, kamu bisa melanjutkan cita-citaku untuk pergi ke tanah suci Mekah.


Dari seseorang yang selalu mencintaimu
dalam hidupnya,


Rangga

Sabtu, 07 Februari 2015

Tanggal Tujuh di Bulan ke Tujuh



Pipi tirus, hidung mancung, dengan kulit setengah sawo matang, dan behel yang berwarna hijau kebiruan. Garis wajahmu masih sangat teringat di benak dan otakku. Kasih sayangmu masih kurasa hingga saat ini. Walau kamu sudah pergi dari jauh-jauh hari. Entah sudah orang keberapa yang kamu ambil hatinya, tapi disini aku masih belum bisa menggantikan sosokmu yang telah hilang dari hari-hariku. Mungkin perkenalan kita yang singkat membuat hubungan kita menjadi ikut singkat. Apakah ini yang dinamakan cinta instan? Yang hanya datang tiba-tiba dengan membawa segala ucapan cinta, mengajakku terbang melayang hingga ke bulan dan memberikan segala ketenangan serta kasih sayang yang ada disana, tetapi saat itu juga tiba-tiba kamu menghilang entah kemana lalu mendorongku hingga kuterjatuh kejurang yang terdalam. Tak ada seorangpun yang mengetahuinya. Nafasku terengah-engah, jantungku sekejap berhenti berdetak, dan tubuhku lemas tak karuan hingga tak berdaya. Inikah arti ucapan cinta dan tak mau kehilangan yang kau berikan kepadaku? Sungguh hatiku sakit.
Tidakkah kau sadar, disini ada aku yang selalu menyebutkan namamu dalam do’a, menggambarkan wajahmu di setiap halaman buku sketsaku, dan selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Jarak, ya. Ini yang sedang ku pelajari disetiap hari-hariku. Kamu sudah menjaga jarak denganku yang entah seberapa jauh itu. Tetapi aku masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Aku masih belum bisa memberikan tambahan jarak dihatiku agar terlepas dari bayang-bayangmu. Mungkin kau hanya menganggapku perempuan yang terlalu berlebihan memberikan rasa, ya, kau bilang ini berlebihan. Seandainya kamu tahu bagaimana rasa sayang yang tiba-tiba menjadi benci yang kini telah kau berikan kepadaku. Kau ungkapkan rasa kekesalanmu kepadaku. Aku tahu, ini bukan sifatmu. Kamu tak akan menjadi seperti ini kepadaku jika tak ada seseorang yang menceritakan hal bodoh tentangku kepadamu. Aku hanya bisa diam. Seolah hal itu tak ku ketahui. Berpura-pura dengan segala kesakitan yang ada. Ya, berpura-pura memang sangat menyakitkan.
Luka ini belum sembuh. Masih dalam tahap pengobatan. Tetapi belum ada yang berhasil mengobatinya. Kau tahu? Segaris senyuman yang kau berikan pada saat beberapa hari lalu mampu membuat luka itu terobati walau hanya sedikit. Sapaanmu memberikan ketenangan dihatiku. Entah bagaimana dengan kamu. Aku rindu dengan sosokmu yang selalu menenangkan hari-hariku, memberikan semangat disetiap harinya, dan memberikan berjuta kasih sayang disetiap detiknya. Semangatku; kamu. Terkadang tiba-tiba aku terbayang akan bisikan manismu. Tapi apa yang bisa kulakuan? Aku hanya bisa terdiam, memerhatikanmu dari kejauhan. Kamu dengan pasangan barumu, dan aku dengan kenangan kita. Ah, mungkin bukan kita, tapi lebih tepatnya hanya aku dan bayangmu yang dulu.
            Ditengah kertas-kertas yang tertuliskan namamu dan tumpukan buku sketsa yang penuh dengan gambar wajahmu. Aku menulis ini. Ditemani lagu yang selalu kita putar saat sedang berdua serta kenangan yang tak hentinya membantuku menuangkan perasaan yang ada saat ini kedalam laptop yang selalu menemaniku. Ditanggal tujuh pada bulan ke tujuh ini, aku berhenti berharap, karena ku yakin luka dapat mendewasakanku. Dan dengan luka sesakit ini, aku berterima kasih. Aku menjadi lebih sering menuangkan karyaku, lebih banyak dari biasanya.

Selasa, 11 November 2014

Setangkai Mawar Penuh Luka



            Kringggg.... begitulah suara jam bekerku yang selalu menyala ketika pukul 4.45 WIB  suaranya selalu beriringan dengan suara adzan subuh di Masjid dekat rumahku. Mataku masih terlihat sangat mengantuk, nyawaku pun belum sempurna karena masih terbawa mimpi, saat ku nyalahkan handphone-ku disana tertera sebuah catatan kecil hari ini. Buru-buru aku meninggalkan tempat tidurku dan langsung menuju ke kamar mandi. Aku lupa bahwa hari ini adalah  hari pertamaku untuk kembali kesekolah. Ketika semuanya sudah rapih, aku langsung bergegas menuju ke sekolah dan tak lupa untuk pamit kepada kedua orang tuaku. Suasana di jalanan sangat ramai, banyak sekali anak sekolah yang sibuk membenarkan pakaiannya dijalan, ada yang kebut-kebutan dengan kendaraan mereka, dan ada pula yang berdiri panik menunggu bus yang menuju ataupun melewati sekolah mereka. Tetapi berbeda denganku yang sangat tak semangat untuk pergi ke sekolah. Seperti ada yang hilang didiriku, tak ada lagi seseorang yang selalu terpampang namanya di layar handphone-ku dengan ucapan selamat pagi disertai emot titik dua bintang di akhir kalimatnya. Untuk mengendarai motorku pun aku tak punya daya. Aku berjalan sangat pelan walaupun jam ditanganku sudah menunjukan pukul 06.25 WIB.
            Sesampainya diparkiran, buru-buru aku berjalan menuju ke sekolah, dengan jarak yang agak lumayan jauh dari sekolah, kegiatan lari-lari ini berhasil membuat tetes demi tetes keringat di wajahku mengalir melewati pipi. Dan... BINGO! Gerbang sekolah belum tertutup. Syukurlah, mungkin dewi fortuna sedang bersamaku. Dengan wajah yang bercucuran keringat aku langsung bergegas memasuki kelasku dan beristirahat disana untuk sesaat. Dan kini kuperkenalkan, namaku Alya Pricillia, saat ini aku menduduki kelas 12 IPA 2 di SMA Harapan Bangsa yang terletak di daerah Tangerang, sekolah yang siswanya lumayan mengasyikan bagiku, tetapi tidak untuk hal cinta. Aku dikenal sebagai siswi yang sangat tidak bisa diam disekolah, yang menjadikan teman-temanku merubah namaku menjadi Alya Pecicilan. Sebutan itu tak asing lagi ku dengar lewat teman-temanku maupun guru-guru yang sudah sangat mengenalku. Seringkali aku dipanggil Miss Galau karena tulisanku di media social yang selalu menceritakan tentang hati perempuan yang disakiti, tanpa mereka sadari tokoh yang mereka tangisi adalah aku, jariku selalu melantunkan apa yang ada dihatiku saat pikiran dan hati ini sedang dalam hebatnya merasa keterpurukan, yang saat ini sedang aku rasakan.
            “Al, ayuk ke lapangan ada apel pagi. Biasa deh hari pertama sekolah jadi seperti ini” Ucap Fara membangunkanku sambil menarik-narik tanganku.
            “Duh... Iya Far, sabar dikit, aku mau ambil topiku dulu di tas” Jawabku sambil merapihkan pakaianku.
            “Yaudah, gerak cepat jangan lama-lama nanti bisa-bisa kita mendapati barisan paling belakang” Balas Fara dengan nada agak sedikit membentak kesal melihatku terlalu santai.
            Benar saja, aku dan Fara mendapat barisan yang paling belakang di barisan kelasku. Tiba-tiba segerombolan siswa IPS 2 datang memenuhi barisan paling belakang kelas mereka. Aku menunduk, tak sedikitpun aku ingin melihat wajah seorang lelaki yang telah memberikan goresan luka dalam yang sangat perih dihati ini. Saat apel sedang berjalan, tak sengaja aku menengok ke arah belakang karena posisiku sangat tak nyaman, aku melihat seorang lelaki yang tak asing bagi mata dan hatiku –Raditya Al Ghiffari, sekejap aku terdiam dan langsung kembali mengarahkan pandangan mataku ke mimbar pembina apel yang sedang memberikan sebuah pengumuman.
            “Al, hari ini Radit ganteng banget, senyumnya manis banget sumpah. Kamu harus liat!” Ucap Fara yang sedang memperhatikan Radit.
            “Iya Far, aku tahu. Tapi yaudahlah, mendengar namanya saja sudah membuat hatiku sakit apalagi melihat wajahnya” Balasku dengan nada yang sedikit memelas.
            Apel hari ini telah selesai, dengan wajah yang dipenuhi keringat, Fara dan Ana langsung menarikku menuju kelas. Mereka memberikan kabar bahwa Radit telah memiliki pasangan baru, seorang sahabatku sejak pertama kali aku duduk di bangku SMA –Kinanti. Berita itu sudah tak lagi membuatku kaget, karena aku telah mengetahuinya sejak awal. Satu per satu teman-teman kelasku memberikan berita yang sama. Cukup bagiku untuk menanggapinya dengan kalimat “Sudah biarkanlah mereka bahagia bersama” walau sebenarnya satu persatu dari mereka yang memberikan berita itu membuat hatiku tergores sedikit demi sedikit, tapi aku berusaha untuk kuat dan menganggap semuanya baik-baik saja.
***
            “Al, kamu lagi dimana? Mau menemaniku ke Taman Citra untuk melihat sebuah acara kecil yang rutin diadakan disana?” Tiba-tiba Farhan mengirimkan sebuah pesan singkat melalui BBM.
            “Aku lagi di Supermall Lippo Karawaci, han. Jam berapa?” Balasku yang sedang asyik berbelanja disana.
            “Jam 8 malam nanti aku jemput kamu, gimana?”
            “Hmm, oke” Balasku singkat.
            “Okedeh, nanti aku kabarin kamu lagi, ya.” Balasnya, dan aku hanya membacanya tanpa membalas pesannya.
            Sudah hampir setengah jam terlewati aku menunggu Farhan diteras rumahku. Tiba-tiba kulihat mobil jazz berwarna merah dan membunyikan klakson-nya kearah rumahku. Aku langsung bergegas mengambil tasku yang berada di meja dan pamit kepada kedua orang tuaku. Farhan Ramadhan itulah nama aslinya, ia adalah temanku sejak kecil saat aku masih tinggal di sebuah perumahan yang berada di Jakarta. Kini rumahku di terletak di Tangerang sedangkan rumahnya kini terletak di Bintaro, jarak rumah kami pun jauh tapi tak menghambat kami untuk tetap berkomunikasi dan bertemu. Kali ini aku diajaknya ke Taman Citra, taman yang biasa kami kunjungi saat ada pameran seni. Suasana disana sangat ramai, ada banyak Grup Band yang bergantian menempati panggung acara. Ditengah-tengah berjalannya acara tersebut, aku dan Farhan meninggalkan tempat duduk kami dan berjalan menuju kesebuah kursi taman yang terletak dekat dengan barisan para pelukis yang sedang melantunkan kuasnya kesebuah kanvas putih. Farhan mengambil sebuah buku sketsa yang ada didalam tasnya dan aku mengambil sebuah buku catatan tulisanku. Kami mulai menuangkan semua yang ada dipikirian kami melalui sebuah peralatan yang telah kami ambil dari tas. Kami berlomba-lomba untuk menyelesaikan hasil karya kami.
            “Yeay! Aku sudah selesai. Hai pelukis hati, apakah karyamu sudah selesai?” Aku memulai pembicaraan saat karyaku telah selesai dan mencoba merayu Farhan dengan rayuan yang terlihat meledek.
            “Oh, ternyata penulis galau sudah lebih jago dari aku, ya. Wait ya, segaris lengkungan kecil akan menyempurnakan lukisanku” Balas Farhan tak mau kalah.
            Kami saling menutup mata dan memberikan hasil karya kami. Satu... dua... dan hitungan ketiga kami membuka mata kami dan melihat hasil karya yang telah ditukar diantara kami sebelumnya. Kulihat Farhan melukiskan diriku yang sedang duduk dibangku taman dengan pose yang sibuk menulis dan aku menulis sebuah puisi kecil yang menceritakan tentang Farhan saat dia sedang melukis tadi. Kami bertanya kepada salah satu pasangan yang ada disitu dan Well... lagi-lagi si pelukis hati ini menang dan berarti aku yang harus mentraktirnya makan.
Langit semakin terlihat gelap, cahaya bulan semakin bersinar memancarkan cahayanya ke bumi ditemani dengan beberapa bintang yang ada disekitarnya. Setelah aku dan Farhan selesai makan, kami memutuskan untuk kembali kerumah. Selama di perjalanan kami saling berbagi cerita dan canda. Dan yang tak pernah kami lupakan adalah tentang cinta. Kami saling berbagi cerita cinta yang kami alami. Aku menceritakan tentang kandasnya hubunganku dengan Radit. Tetes demi tetes air mataku mengalir membasahi pipi.
“Sudah al, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Dimana diri kamu yang dulu, yang selalu melepaskan tawa bahagiamu, yang tak pernah meneteskan air mata hanya karena cinta? Jangan hanya karena dia kamu jadi berubah seperti ini al, jangan terlalu terpuruk. Lupakanlah dia, hilangkanlah perasaan itu sedikit demi sedikit.” Ucap Farhan menenangkanku sambil menghapus air mataku yang terus mengalir dipipi.
“Aku nyesel han, kenapa aku nggak bisa jadi perempuan pendiam yang ia inginkan.” Jawabku gemetar memeluk boneka favorite-ku hello kitty yang selalu tersimpan didalam jazz merah milik Farhan.
“Itu masalah sepele, al. Kalau rasa sayang dia beneran tulus ke kamu, harusnya dia bisa menerima kamu apa adanya, termasuk sifat pecicilan dan kekanak-kanakan yang sudah melekat didiri kamu itu.” Balas Farhan menenangiku.
“Aku masih belum bisa menerima, kenapa kenyataan yang aku terima ini begitu buruk. Radit terlalu susah untuk aku lupain, han. Apalagi sekarang dia udah pacaran dengan Kinanti, teman aku sendiri.”
“Yaudahlah al, kan kamu juga baru beberapa hari sama Radit. Berjalanannya waktu pasti kamu bisa ngelupain dia. Yakin, al”
Perjalanan masih sangat jauh, aku termenung memandangi ramainya jalanan kala itu. Tiba-tiba kulihat seorang pasangan mesra menaiki motor Ninja berwarna merah. Jantungku berdetak tak teratur, seperti ada hal yang aneh. Kupandangi mereka sampai akhirnya mereka menyadari pandanganku dari jendela mobil yang dibuka, mereka menengok ke arahku dan tenyata itu Radit dan Kinanti. Sungguh hatiku sakit, seakan jantungku berhenti untuk sesaat. Pipiku kembali basah diselimuti air mata yang tak hentinya mengalir begitu saja.
“Loh, kamu kenapa al? Kenapa tiba-tiba nangis seperti ini? Baru saja air mata mu berhenti mengalir” Ucap Farhan kaget melihatku yang tiba-tiba menangis.
“Itu...” Tanganku menunjuk kearah luar jendela mobil, tepatnya pada Radit dan Kinanti.
Belum sempat Farhan melihat mereka, Radit langsung menaikan gas motornya dan melaju sangat kencang. Entah kesalahan apa yang pernah ku perbuat kepada orang lain, sehingga aku merasa sesakit ini. Dan hari ini adalah hari terburuk yang pernah kulewati.
“Al, sudah sampai rumahmu nih” Ucap Farhan sambil menyadarkanku dari tatapan kosong.
“Oh, iya, terima kasih ya han untuk malam ini. Aku duluan, ya. Bye” Balasku langsung bergegas keluar dari jazz merah milik Farhan.
“Okey, terima kasih juga. Bye. Salam buat mama dan papa mu ya, al” Jawab Farhan langsung menjalankan mobilnya.
***
Sinar mentari hari ini begitu cerah, rumput-rumput bergoyang dengan luesnya, bunga-bunga dan dedaunan menari-nari mengeluarkan udara yang sejuk di pagi ini. Aku masih termenung diam menatapi sebatang bunga mawar merah yang kini sudah mulai kehitaman pemberian Raditya yang pernah ia berikan saat pertama kali ia menyatakan cintanya kepadaku ditengah lapangan sekolah yang saat itu sedang diguyur hujan rintik-rintik. Ia menyatakan cintanya melalui sebatang bunga mawar merah dan rangkaian bunga yang dipegang oleh beberapa siswa dilantai dua dan tiga yang membentuk tulisan I Love U dan selembar banner ukuran besar yang tertuliskan Would you like to be my princess, Alya?. Mengingat hal itu membuatku semakin sulit untuk melupakannya, kenangan bersamanya begitu berarti untukku walau hanya beberapa saat aku menjalin hubungan dengannnya. Setahun lamanya kedekatanku dengannya, aku membuat begitu banyak kenangan bersama dirinya walau saat itu kami hanya sebatas teman tapi mesra. Tetapi, kedekatan itu hanya terjawab dua puluh sembilan hari menjalin hubungan dengan status ‘berpacaran’ bersamanya. Ia memutuskanku satu hari sebelum hubungan kami berlangsung satu bulan. Saat itu dia tidak memberiku kabar sama sekali.
Jum’at, 8 Juli 2011 Pk: 08.12
     Selamat pagi, kesayangannya princess alya. Adzan subuh sudah berkumandang tuh. Jangan lupa sholat subuh ya. Happy Friday, sayang. Semoga hari ini kita diberi keberkahan. AamiinJ
To: Raditya                                     Message delivered
                     Pk: 12.25
     Daritadi aku telpon kamu kok mailbox terus ya? Hp kamu mati? Atau kamu belum bangun juga? Yaudah nggak apa-apa, aku tunggu kabarmu ya. Love you, my prince. Jangan lupa menjalankan kewajibanmu sebagai muslim ya :)
To: Raditya                                     Messege delivered

     Aku terus menghubunginya, dan tak ada satu pun tanggapan darinya. Awalnya aku merasa biasa saja, seolah ini hanyalah kekhawatiranku yang terlalu berlebihan. Tetapi hal ini terus terjadi selama dua hari, ia tidak memberiku kabar sedikit pun. Aku menyimpan beribu-ribu perasaan rindu yang selalu menggebu dihati. Menunggunya membalas perasaan rinduku ini dengan sebuah pesan singkat. Nyatanya, harapan yang ku inginkan darinya tak seindah kenyataan, entah dengan kesibukan apa dan dengan siapa sehingga dengan mudahnya secara perlahan ia  menghapus sosok ku dari hari-harinya. Kini, aku tak tahu siapa diriku baginya, kekasih, sahabat karib, teman bercerita, atau kawan bercumbu. Semakin hari hubunganku dengannya semakin tidak jelas. Pernah sekali saat tepat seminggu ia tak ada kabar, aku berniat untuk menemuinya dirumah. Ternyata rumahnya pun sepi, para tetangganya pun berkata kalau keluarganya sedang berlibur keluar kota sejak dua minggu lalu. Kakiku mulai melangkah menuju mobil berwarna pink yang ku kendarai. Aku masuk dan duduk termenung didalam mobil yang masih saja terparkir disamping rumah Radit, tiba-tiba mobil jazz warna merah dengan plat B 126 RAF berhenti tepat didepan rumah Radit. Pintu mobil si pengemudi terbuka dan ternyata itu adalah Radit! Lalu ia berlari pelan membuka pintu yang satunya dan keluarlah seorang perempuan berambut panjang di ombre yang diatas kepalanya terletak sebuah kacamata. Perempuan itu mengarahkan matanya ke arah mobilku, ku perhatikan tatapannya dari dalam mobilku, ia adalah Kinanti; sahabatku saat pertama kali aku duduk di SMA, dan entah kenapa ia langsung memeluk Radit yang kala itu sedang ingin memasuki mobil untuk dipindahkan ke dalam halaman depan rumahnya. Sungguh hatiku sakit saat itu, melihat seorang lelaki yang ku nantikan kehadirannya dihidupku kembali sedang berduaan dengan seorang sahabatku sendiri.
            Menginat hal itu, membuat air mataku semakin deras mengalir melewati pipiku. Setega itukah Radit dibelakangku? Mengapa aku menjadi sangat bodoh seperti ini, ia datang bermain berbagi kenyamanan lalu pergi dengan beribu kebohongan. Tetapi entah mengapa kenangan yang ia berikan membuatku tak sanggup  untuk melupakan semua hal tentangnya. –ucapku dalam batin.


Bersambung...