Kringggg.... begitulah suara
jam bekerku yang selalu menyala ketika pukul 4.45 WIB suaranya selalu beriringan dengan suara adzan
subuh di Masjid dekat rumahku. Mataku masih terlihat sangat mengantuk, nyawaku
pun belum sempurna karena masih terbawa mimpi, saat ku nyalahkan handphone-ku disana
tertera sebuah catatan kecil hari ini. Buru-buru aku meninggalkan tempat
tidurku dan langsung menuju ke kamar mandi. Aku lupa bahwa hari ini adalah hari pertamaku untuk kembali kesekolah. Ketika
semuanya sudah rapih, aku langsung bergegas menuju ke sekolah dan tak lupa
untuk pamit kepada kedua orang tuaku. Suasana di jalanan sangat ramai, banyak
sekali anak sekolah yang sibuk membenarkan pakaiannya dijalan, ada yang
kebut-kebutan dengan kendaraan mereka, dan ada pula yang berdiri panik menunggu
bus yang menuju ataupun melewati sekolah mereka. Tetapi berbeda denganku yang
sangat tak semangat untuk pergi ke sekolah. Seperti ada yang hilang didiriku,
tak ada lagi seseorang yang selalu terpampang namanya di layar handphone-ku
dengan ucapan selamat pagi disertai emot titik dua bintang di akhir kalimatnya.
Untuk mengendarai motorku pun aku tak punya daya. Aku berjalan sangat pelan
walaupun jam ditanganku sudah menunjukan pukul 06.25 WIB.
Sesampainya
diparkiran, buru-buru aku berjalan menuju ke sekolah, dengan jarak yang agak
lumayan jauh dari sekolah, kegiatan lari-lari ini berhasil membuat tetes demi
tetes keringat di wajahku mengalir melewati pipi. Dan... BINGO! Gerbang sekolah
belum tertutup. Syukurlah, mungkin dewi fortuna sedang bersamaku. Dengan wajah
yang bercucuran keringat aku langsung bergegas memasuki kelasku dan
beristirahat disana untuk sesaat. Dan kini kuperkenalkan, namaku Alya
Pricillia, saat ini aku menduduki kelas 12 IPA 2 di SMA Harapan Bangsa yang
terletak di daerah Tangerang, sekolah yang siswanya lumayan mengasyikan bagiku,
tetapi tidak untuk hal cinta. Aku dikenal sebagai siswi yang sangat tidak bisa
diam disekolah, yang menjadikan teman-temanku merubah namaku menjadi Alya
Pecicilan. Sebutan itu tak asing lagi ku dengar lewat teman-temanku maupun
guru-guru yang sudah sangat mengenalku. Seringkali aku dipanggil Miss Galau
karena tulisanku di media social yang selalu menceritakan tentang hati
perempuan yang disakiti, tanpa mereka sadari tokoh yang mereka tangisi adalah
aku, jariku selalu melantunkan apa yang ada dihatiku saat pikiran dan hati ini
sedang dalam hebatnya merasa keterpurukan, yang saat ini sedang aku rasakan.
“Al,
ayuk ke lapangan ada apel pagi. Biasa
deh hari pertama sekolah jadi seperti ini” Ucap Fara membangunkanku sambil
menarik-narik tanganku.
“Duh...
Iya Far, sabar dikit, aku mau ambil topiku dulu di tas” Jawabku sambil
merapihkan pakaianku.
“Yaudah,
gerak cepat jangan lama-lama nanti bisa-bisa kita mendapati barisan paling
belakang” Balas Fara dengan nada agak sedikit membentak kesal melihatku terlalu
santai.
Benar
saja, aku dan Fara mendapat barisan yang paling belakang di barisan kelasku.
Tiba-tiba segerombolan siswa IPS 2 datang memenuhi barisan paling belakang
kelas mereka. Aku menunduk, tak sedikitpun aku ingin melihat wajah seorang
lelaki yang telah memberikan goresan luka dalam yang sangat perih dihati ini.
Saat apel sedang berjalan, tak
sengaja aku menengok ke arah belakang karena posisiku sangat tak nyaman, aku
melihat seorang lelaki yang tak asing bagi mata dan hatiku –Raditya Al
Ghiffari, sekejap aku terdiam dan langsung kembali mengarahkan pandangan mataku
ke mimbar pembina apel yang sedang
memberikan sebuah pengumuman.
“Al,
hari ini Radit ganteng banget, senyumnya manis banget sumpah. Kamu harus liat!”
Ucap Fara yang sedang memperhatikan Radit.
“Iya
Far, aku tahu. Tapi yaudahlah, mendengar namanya saja sudah membuat hatiku
sakit apalagi melihat wajahnya” Balasku dengan nada yang sedikit memelas.
Apel hari ini telah selesai, dengan
wajah yang dipenuhi keringat, Fara dan Ana langsung menarikku menuju kelas. Mereka
memberikan kabar bahwa Radit telah memiliki pasangan baru, seorang sahabatku sejak pertama kali aku duduk di bangku SMA –Kinanti. Berita itu sudah tak lagi membuatku kaget, karena aku telah
mengetahuinya sejak awal. Satu per satu teman-teman kelasku memberikan berita
yang sama. Cukup bagiku untuk menanggapinya dengan kalimat “Sudah biarkanlah
mereka bahagia bersama” walau sebenarnya satu persatu dari mereka yang
memberikan berita itu membuat hatiku tergores sedikit demi sedikit, tapi aku
berusaha untuk kuat dan menganggap semuanya baik-baik saja.
***
“Al, kamu
lagi dimana? Mau menemaniku ke Taman Citra untuk melihat sebuah acara kecil
yang rutin diadakan disana?” Tiba-tiba Farhan mengirimkan sebuah pesan singkat
melalui BBM.
“Aku
lagi di Supermall Lippo Karawaci, han. Jam berapa?” Balasku yang sedang asyik
berbelanja disana.
“Jam 8
malam nanti aku jemput kamu, gimana?”
“Hmm,
oke” Balasku singkat.
“Okedeh,
nanti aku kabarin kamu lagi, ya.” Balasnya, dan aku hanya membacanya tanpa
membalas pesannya.
Sudah
hampir setengah jam terlewati aku menunggu Farhan diteras rumahku. Tiba-tiba kulihat
mobil jazz berwarna merah dan
membunyikan klakson-nya kearah rumahku.
Aku langsung bergegas mengambil tasku yang berada di meja dan pamit kepada
kedua orang tuaku. Farhan Ramadhan itulah nama aslinya, ia adalah temanku sejak
kecil saat aku masih tinggal di sebuah perumahan yang berada di Jakarta. Kini
rumahku di terletak di Tangerang sedangkan rumahnya kini terletak di Bintaro,
jarak rumah kami pun jauh tapi tak menghambat kami untuk tetap berkomunikasi
dan bertemu. Kali ini aku diajaknya ke Taman Citra, taman yang biasa kami
kunjungi saat ada pameran seni. Suasana disana sangat ramai, ada banyak Grup
Band yang bergantian menempati panggung acara. Ditengah-tengah berjalannya
acara tersebut, aku dan Farhan meninggalkan tempat duduk kami dan berjalan
menuju kesebuah kursi taman yang terletak dekat dengan barisan para pelukis
yang sedang melantunkan kuasnya kesebuah kanvas putih. Farhan mengambil sebuah
buku sketsa yang ada didalam tasnya dan aku mengambil sebuah buku catatan
tulisanku. Kami mulai menuangkan semua yang ada dipikirian kami melalui sebuah
peralatan yang telah kami ambil dari tas. Kami berlomba-lomba untuk
menyelesaikan hasil karya kami.
“Yeay!
Aku sudah selesai. Hai pelukis hati, apakah karyamu sudah selesai?” Aku memulai
pembicaraan saat karyaku telah selesai dan mencoba merayu Farhan dengan rayuan
yang terlihat meledek.
“Oh,
ternyata penulis galau sudah lebih jago dari aku, ya. Wait ya, segaris lengkungan kecil akan menyempurnakan lukisanku”
Balas Farhan tak mau kalah.
Kami
saling menutup mata dan memberikan hasil karya kami. Satu... dua... dan
hitungan ketiga kami membuka mata kami dan melihat hasil karya yang telah
ditukar diantara kami sebelumnya. Kulihat Farhan melukiskan diriku yang sedang
duduk dibangku taman dengan pose yang sibuk menulis dan aku menulis sebuah
puisi kecil yang menceritakan tentang Farhan saat dia sedang melukis tadi. Kami
bertanya kepada salah satu pasangan yang ada disitu dan Well... lagi-lagi si pelukis hati ini menang dan berarti aku yang
harus mentraktirnya makan.
Langit semakin terlihat gelap,
cahaya bulan semakin bersinar memancarkan cahayanya ke bumi ditemani dengan
beberapa bintang yang ada disekitarnya. Setelah aku dan Farhan selesai makan,
kami memutuskan untuk kembali kerumah. Selama di perjalanan kami saling berbagi
cerita dan canda. Dan yang tak pernah kami lupakan adalah tentang cinta. Kami
saling berbagi cerita cinta yang kami alami. Aku menceritakan tentang kandasnya
hubunganku dengan Radit. Tetes demi tetes air mataku mengalir membasahi pipi.
“Sudah al, jangan terlalu larut
dalam kesedihan. Dimana diri kamu yang dulu, yang selalu melepaskan tawa
bahagiamu, yang tak pernah meneteskan air mata hanya karena cinta? Jangan hanya
karena dia kamu jadi berubah seperti ini al, jangan terlalu terpuruk.
Lupakanlah dia, hilangkanlah perasaan itu sedikit demi sedikit.” Ucap Farhan
menenangkanku sambil menghapus air mataku yang terus mengalir dipipi.
“Aku nyesel han, kenapa aku
nggak bisa jadi perempuan pendiam yang ia inginkan.” Jawabku gemetar memeluk
boneka favorite-ku hello kitty yang selalu tersimpan didalam jazz merah milik Farhan.
“Itu masalah sepele, al. Kalau
rasa sayang dia beneran tulus ke kamu, harusnya dia bisa menerima kamu apa
adanya, termasuk sifat pecicilan dan kekanak-kanakan yang sudah melekat didiri
kamu itu.” Balas Farhan menenangiku.
“Aku masih belum bisa menerima,
kenapa kenyataan yang aku terima ini begitu buruk. Radit terlalu susah untuk aku
lupain, han. Apalagi sekarang dia udah pacaran dengan Kinanti, teman aku
sendiri.”
“Yaudahlah al, kan kamu juga
baru beberapa hari sama Radit. Berjalanannya waktu pasti kamu bisa ngelupain
dia. Yakin, al”
Perjalanan masih sangat jauh,
aku termenung memandangi ramainya jalanan kala itu. Tiba-tiba kulihat seorang
pasangan mesra menaiki motor Ninja berwarna merah. Jantungku berdetak tak
teratur, seperti ada hal yang aneh. Kupandangi mereka sampai akhirnya mereka
menyadari pandanganku dari jendela mobil yang dibuka, mereka menengok ke arahku
dan tenyata itu Radit dan Kinanti. Sungguh hatiku sakit, seakan jantungku berhenti
untuk sesaat. Pipiku kembali basah diselimuti air mata yang tak hentinya
mengalir begitu saja.
“Loh, kamu kenapa al? Kenapa
tiba-tiba nangis seperti ini? Baru saja air mata mu berhenti mengalir” Ucap
Farhan kaget melihatku yang tiba-tiba menangis.
“Itu...” Tanganku menunjuk
kearah luar jendela mobil, tepatnya pada Radit dan Kinanti.
Belum sempat Farhan melihat
mereka, Radit langsung menaikan gas motornya dan melaju sangat kencang. Entah kesalahan
apa yang pernah ku perbuat kepada orang lain, sehingga aku merasa sesakit ini.
Dan hari ini adalah hari terburuk yang pernah kulewati.
“Al, sudah sampai rumahmu nih”
Ucap Farhan sambil menyadarkanku dari tatapan kosong.
“Oh, iya, terima kasih ya han
untuk malam ini. Aku duluan, ya. Bye” Balasku langsung bergegas keluar dari jazz merah milik Farhan.
“Okey, terima kasih juga. Bye.
Salam buat mama dan papa mu ya, al” Jawab Farhan langsung menjalankan mobilnya.
***
Sinar mentari hari ini begitu
cerah, rumput-rumput bergoyang dengan luesnya,
bunga-bunga dan dedaunan menari-nari mengeluarkan udara yang sejuk di pagi
ini. Aku masih termenung diam menatapi sebatang bunga mawar merah yang kini
sudah mulai kehitaman pemberian Raditya yang pernah ia berikan saat pertama
kali ia menyatakan cintanya kepadaku ditengah lapangan sekolah yang saat itu
sedang diguyur hujan rintik-rintik. Ia menyatakan cintanya melalui sebatang
bunga mawar merah dan rangkaian bunga yang dipegang oleh beberapa siswa
dilantai dua dan tiga yang membentuk tulisan I Love U dan selembar banner ukuran besar yang tertuliskan Would you like to be my princess, Alya?.
Mengingat hal itu membuatku semakin sulit untuk melupakannya, kenangan
bersamanya begitu berarti untukku walau hanya beberapa saat aku menjalin
hubungan dengannnya. Setahun lamanya kedekatanku dengannya, aku membuat begitu
banyak kenangan bersama dirinya walau saat itu kami hanya sebatas teman tapi mesra. Tetapi, kedekatan itu
hanya terjawab dua puluh sembilan hari menjalin hubungan dengan status
‘berpacaran’ bersamanya. Ia memutuskanku satu hari sebelum hubungan kami
berlangsung satu bulan. Saat itu dia tidak memberiku kabar sama sekali.
Jum’at, 8 Juli 2011 Pk: 08.12
Selamat pagi, kesayangannya princess alya. Adzan subuh sudah
berkumandang tuh. Jangan lupa sholat subuh ya. Happy Friday, sayang. Semoga
hari ini kita diberi keberkahan. AamiinJ
To: Raditya Message
delivered
Pk: 12.25
Daritadi aku telpon kamu kok mailbox terus ya? Hp kamu mati?
Atau kamu belum bangun juga? Yaudah nggak apa-apa, aku tunggu kabarmu ya. Love
you, my prince. Jangan lupa menjalankan kewajibanmu sebagai muslim ya :)
To: Raditya Messege
delivered
Aku terus
menghubunginya, dan tak ada satu pun tanggapan darinya. Awalnya aku merasa
biasa saja, seolah ini hanyalah kekhawatiranku yang terlalu berlebihan. Tetapi
hal ini terus terjadi selama dua hari, ia tidak memberiku kabar sedikit pun.
Aku menyimpan beribu-ribu perasaan rindu yang selalu menggebu dihati.
Menunggunya membalas perasaan rinduku ini dengan sebuah pesan singkat.
Nyatanya, harapan yang ku inginkan darinya tak seindah kenyataan, entah dengan
kesibukan apa dan dengan siapa sehingga dengan mudahnya secara perlahan ia menghapus sosok ku dari hari-harinya. Kini,
aku tak tahu siapa diriku baginya, kekasih, sahabat karib, teman bercerita,
atau kawan bercumbu. Semakin hari hubunganku dengannya semakin tidak jelas. Pernah
sekali saat tepat seminggu ia tak ada kabar, aku berniat untuk menemuinya
dirumah. Ternyata rumahnya pun sepi, para tetangganya pun berkata kalau
keluarganya sedang berlibur keluar kota sejak dua minggu lalu. Kakiku mulai
melangkah menuju mobil berwarna pink yang ku kendarai. Aku masuk dan duduk
termenung didalam mobil yang masih saja terparkir disamping rumah Radit,
tiba-tiba mobil jazz warna merah
dengan plat B 126 RAF berhenti tepat didepan rumah Radit. Pintu mobil si
pengemudi terbuka dan ternyata itu adalah Radit! Lalu ia berlari pelan membuka
pintu yang satunya dan keluarlah seorang perempuan berambut panjang di ombre
yang diatas kepalanya terletak sebuah kacamata. Perempuan itu mengarahkan
matanya ke arah mobilku, ku perhatikan tatapannya dari dalam mobilku, ia adalah
Kinanti; sahabatku saat pertama kali aku duduk di SMA, dan entah kenapa ia
langsung memeluk Radit yang kala itu sedang ingin memasuki mobil untuk
dipindahkan ke dalam halaman depan rumahnya. Sungguh hatiku sakit saat itu,
melihat seorang lelaki yang ku nantikan kehadirannya dihidupku kembali sedang
berduaan dengan seorang sahabatku sendiri.
Menginat
hal itu, membuat air mataku semakin deras mengalir melewati pipiku. Setega itukah Radit dibelakangku? Mengapa
aku menjadi sangat bodoh seperti ini, ia datang bermain berbagi kenyamanan lalu
pergi dengan beribu kebohongan. Tetapi entah mengapa kenangan yang ia berikan
membuatku tak sanggup untuk melupakan
semua hal tentangnya. –ucapku dalam batin.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar